WartaTubandotcom - Iklim politik secara nasional sangat transaksional, termasuk di Sumatera Utara sehingga pemilihan gubernur yang akan diselenggarakan hanya dapat diikuti orang-orang yang memiliki uang banyak.
Dalam "Dialog Politik Indonesia dan Pilihan Rakyat Sumut" di Perum LKBN ANTARA Sumut di Medan, Sabtu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar mengatakan, dengan iklim politik seperti itu, kampanye dan pengabdian seseorang terhadap masyarakat tidak akan berarti lagi.
"Masyarakat juga lebih memilih orang yang bisa memberi sesuatu di saat terakhir," katanya.
Hasrul mengatakan, pola transaksional dalam memberikan dukungan politik tersebut hampir terjadi di semua daerah, termasuk di Sumut yang memiliki 33 kabupaten/kota.
Kondisi itu justru dimanfaatkan kelompok tertentu yang memiliki persediaan dana yang cukup banyak untuk mendapatkan kekuasaan dengan "membeli" rakyat.
Ia mencontohkan pengalaman seorang kader PPP di Kabupaten Serdang Bedagai yang memiliki pengabdian sejak lama untuk memperjuangkan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di daerah itu.
Namun dalam Pemilu 2009, politisi tersebut tidak mendapatkan suara yang cukup dari masyarakat yang dibantunya selama ini karena beralih ke pihak lain yang memberikan uang menjelang pemilihan.
Padahal, pihak lain tersebut tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap masyarakat di daerah itu dan hanya memberikan uang ketika menjelang pemungutan suara.
"Akhirnya, kader kita itu bilang kalau `kalau Ketua (Hasrul Azwar) terpilih nanti, tidak perlu membantu masyarakat, cukup kumpulkan uang lalu dibagi-bagi saat Pemilu`," katanya tanpa menyebutkan nama kader tersebut.
Kondisi itu, kata Hasrul, menyebabkan seseorang yang ingin mendapatkan amanat rakyat, baik sebagai eksekutif mau pun legislatif harus mengeluarkan uang besar agar dapat menjalani proses demokrasi yang ditetapkan.
Kebutuhan dana yang cukup besar tersebut juga diyakni akan terjadi dalam proses pemilihan Gubernur Sumut yang akan diselenggarakan pada tahun 2013.
Untuk operasional tim, biaya kampanye, atribut, baliho, dana saksi, dan berbagai kebutuhan lainnya, diperkirakan dibutuhkan dana minimal Rp2 miliar untuk setiap kabupaten/kota.
Dengan jumlah 33 kabupaten/kota, setiap calon gubernur harus menyiapkan dana operasional minimal Rp66 miliar. "Itu kalau satu putaran. Jadi, paling tidak, harus disiapkan dana Rp100 miliar," kata Ketua Fraksi PPP di DPR itu.
Pola transaksional dan materialistis tersebut menyebabkan tokoh yang memiliki komitmen dan pengetahuan yang bagus akan sulit menjadi Gubernur Sumut jika tidak memiliki uang yang banyak.
"Sekarang, meski punya ilmu bagus, manajemen bagus, dan pengalaman bagus, tetapi tidak memiliki uang banyak, jangan mimpi menjadi Gubernur Sumut," katanya.
"Karena itu, tokoh yang mendaftar sebagai cagub Sumut, pasti dutinya banyak," kata Hasrul menambahkan.
Tentu saja, pola transaksional dan materialistis tersebut akan menyebabkan pemerintahan yang dijalankan tidak dapat seutuhnya demi pembangunan karena pejabat yang terpilih itu diperkirakan akan berupaya untuk mengembalikam modalnya.
"Kalau sudah habis Rp100 miliar, bagaimana lagi mengembalikannya (kalau tidak korupsi)," katatanya.
Editor: Suryanto | Rangga
[antaranews.com] COPYRIGHT © Warta Tuban 2012
Dalam "Dialog Politik Indonesia dan Pilihan Rakyat Sumut" di Perum LKBN ANTARA Sumut di Medan, Sabtu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar mengatakan, dengan iklim politik seperti itu, kampanye dan pengabdian seseorang terhadap masyarakat tidak akan berarti lagi.
"Masyarakat juga lebih memilih orang yang bisa memberi sesuatu di saat terakhir," katanya.
Hasrul mengatakan, pola transaksional dalam memberikan dukungan politik tersebut hampir terjadi di semua daerah, termasuk di Sumut yang memiliki 33 kabupaten/kota.
Kondisi itu justru dimanfaatkan kelompok tertentu yang memiliki persediaan dana yang cukup banyak untuk mendapatkan kekuasaan dengan "membeli" rakyat.
Ia mencontohkan pengalaman seorang kader PPP di Kabupaten Serdang Bedagai yang memiliki pengabdian sejak lama untuk memperjuangkan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di daerah itu.
Namun dalam Pemilu 2009, politisi tersebut tidak mendapatkan suara yang cukup dari masyarakat yang dibantunya selama ini karena beralih ke pihak lain yang memberikan uang menjelang pemilihan.
Padahal, pihak lain tersebut tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap masyarakat di daerah itu dan hanya memberikan uang ketika menjelang pemungutan suara.
"Akhirnya, kader kita itu bilang kalau `kalau Ketua (Hasrul Azwar) terpilih nanti, tidak perlu membantu masyarakat, cukup kumpulkan uang lalu dibagi-bagi saat Pemilu`," katanya tanpa menyebutkan nama kader tersebut.
Kondisi itu, kata Hasrul, menyebabkan seseorang yang ingin mendapatkan amanat rakyat, baik sebagai eksekutif mau pun legislatif harus mengeluarkan uang besar agar dapat menjalani proses demokrasi yang ditetapkan.
Kebutuhan dana yang cukup besar tersebut juga diyakni akan terjadi dalam proses pemilihan Gubernur Sumut yang akan diselenggarakan pada tahun 2013.
Untuk operasional tim, biaya kampanye, atribut, baliho, dana saksi, dan berbagai kebutuhan lainnya, diperkirakan dibutuhkan dana minimal Rp2 miliar untuk setiap kabupaten/kota.
Dengan jumlah 33 kabupaten/kota, setiap calon gubernur harus menyiapkan dana operasional minimal Rp66 miliar. "Itu kalau satu putaran. Jadi, paling tidak, harus disiapkan dana Rp100 miliar," kata Ketua Fraksi PPP di DPR itu.
Pola transaksional dan materialistis tersebut menyebabkan tokoh yang memiliki komitmen dan pengetahuan yang bagus akan sulit menjadi Gubernur Sumut jika tidak memiliki uang yang banyak.
"Sekarang, meski punya ilmu bagus, manajemen bagus, dan pengalaman bagus, tetapi tidak memiliki uang banyak, jangan mimpi menjadi Gubernur Sumut," katanya.
"Karena itu, tokoh yang mendaftar sebagai cagub Sumut, pasti dutinya banyak," kata Hasrul menambahkan.
Tentu saja, pola transaksional dan materialistis tersebut akan menyebabkan pemerintahan yang dijalankan tidak dapat seutuhnya demi pembangunan karena pejabat yang terpilih itu diperkirakan akan berupaya untuk mengembalikam modalnya.
"Kalau sudah habis Rp100 miliar, bagaimana lagi mengembalikannya (kalau tidak korupsi)," katatanya.
Editor: Suryanto | Rangga
[antaranews.com] COPYRIGHT © Warta Tuban 2012
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !